Minerba Sebagai Pondasi Transisi Energi yang Berkeadilan
Minerba Sebagai Pondasi Transisi Energi yang Berkeadilan
Transisi energi adalah hal yang harus segera dikebut. Tak hanya di Indonesia, setiap negara di seluruh dunia berlomba-lomba dalam melakukan sebuah transisi, dari penggunaan utama energi fosil ke energi yang lebih bersih. Asumsi bahwa melakukan transisi energi secara umum dipahami bahwa kita sama sekali tidak menggunakan energi fosil, namun dalam praktiknya kita masih belum dapat lepas 100% dari energi yang sudah berabad abad menyokong kehidupan.
Latar belakang adanya transisi energi merupakan hal yang menarik untuk dibahas. Semua orang akan setuju, bahwa lingkungan tempat kita tinggal harus bersama-sama kita jaga. Isu lingkungan merupakan salah satu pendorong besar para pelopor memperjuangkan adanya transisi energi ini. Selain melakukan peralihan dari energi fosil yang hitam menjadi energi baru terbarukan yang hijau dan ramah lingkungan, transisi energi juga mengingatkan kita akan peran dan tanggungjawab manusia dalam menjaga energi dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai stakeholder yang memiliki peran langsung terhadap energi di Indonesia, sudah mulai melakukan aksi nyata dalam upaya melakukan transisi energi. Dengan dikeluarkannya Kepmen ESDM No. 301.K/MB.01/MEM.B/2022 tentang Rencana Pengelolaan Mineral dan Batubara Nasional tahun 2022-2027, pemerintah mulai mengatur strategi dan sinergi lewat melalui lembaga kementerian. Di dalam keputusan Menteri ESDM tersebut tertuang beberapa strategi pengelolaan sumber daya mineral dan batubara. Setidaknya ada 3 pilar kaidah dasar sebagai strategi implementasi, yakni inventarisasai, pengelolaan dan pemanfaatan, serta konservasi.
Tidak lepas dari keputusan Menteri ESDM, di RPBMN (Rencana Pengelolaan Mineral dan Batubara Nasional) 2022 -2027, tercantum transisi energi yang menjadi salah satu fokus penentuan strategi jangka menengah 5 tahunan ini. Kita perlu menyadari dan memaklumi, transisi energi perlu waktu, sumber daya dan penyesuaian yang harus terus berproses. Dalam menuju transisi energi hijau, pergerakan yang setidaknya bisa kita lihat di Indonesia kita tinjau dari 2 fenomena besar, yakni rencana pengurangan operasi PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) Batubara, dan digencarkannya kendaraan berbahan bakar listrik (motor listrik).
Fenomena transisi dari PLTU ke alternatuif lain, seperti di Kabupaten Sidrap, Sulawesi selatan, dibangun lapangan angin yang dimanfaatkan sebagai PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu); PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) di Waduk Cirata Jawa Barat; dan beberapa lapangan Panas Bumi yang diakomodasi oleh BUMN Pertamina Geothermal Energi, merupakan langkah awal yang perlu diapresiasi, karena kita sudah tidak ragu bagaimana memulai, namun bagaimana kita berani mengambil langkah-langkah dan keputusan yang berdampak terhadap misi panjang transisi energi ini.
Layaknya energi yang hijau, asas manfaatnya dalam menjaga lingkungan dan menjaga keberlanjutan energi masa depan, harus dapat diakses oleh siapapun. Di dalam perjalanannya, mungkin transisi energi tidak semudah dan semurah energi yang tersedia saat ini. Dikaitkan dengan manfaat jangka panjang, kita sebagai generasi pelopor hendak berinvestasi dan nantinya dapat mewariskan keberlanjutan energi di masa depan. Pemerintah melalui Kementerian ESDM harus sudah mulai menggenjot rencana-rencana yang sudah sangat apik dipaparkan. Yang perlu digaris bawahi dalam upaya transisi, yang paling dekat saat ini adalah transmisi (penyaluran), penyimpanan (storage) dan juga motor listrik. Kesemuanya masih sangat memerlukan energi konvensional yang kita pakai saat ini. Untuk manufaktur infrastruktur, pengolahan dan pemurnian logam baterai, dan komponen-komponen motor listrik tidak dapat lepas dari kegiatan ekstraksi dan eksploitasi tambang logam; tergolong beberapa mineral kritis seperti aluminium, besi dan kromium tetap harus digalakkan dalam upaya membangun infrastruktur penunjang.
Dalam upaya agar energi hijau ini dapat diakses siapapun, perlu dipastikan kekuatan sumber daya terpenuhi dalam negeri. Kegiatan eksplorasi tambang perlu mulai dilakukan kembali, dengan dibukanya tambang-tambang nikel baru, tambang lithium baru dan pembangunan smelter-smelter baru tak lepas dari langkah strategis, dengan mempertahankan dan memenuhi ESG (Environmental, Social and Good Governance).
Selain langkah-langkah penunjang masuknya energi baru, perlu dilakukan penanganan yang berhubungan dengan energi konvensional yang masih kita pakai, salah satunya yakni batubara. Pemerintah perlu melakukan upaya pengawasan dan asistensi dalam berjalannya industri energi ke depan. Dengan mulai dari segi perijinan kawasan wilayah, pemantauan kinerja perusahaan, monitoring dan konservasi dampak lingkungan harus paralel dilakukan. Penerapan penggunaan batubara yang lebih bersih dengan metode cofiring, merupakan upaya transisi yang dituntut untuk bersih sejak dari hulu, dan di hilir pun, kita galakkan hilirisasi dengan pembangunan smelter-smelter dalam negeri. Kegiatan eksplorasi LTJ (Logam Tanah Jarang) atau REE (Rare Earth Element) harapannya dapat dengan pesat berkembang, dengan didukung Sumber Daya Manusia dalam negeri yang berkompeten.
Kemudahan dalam perizinan yang berkaitan dengan kemajuan transisi energi, perlu dipertimbangkan, karena sekali lagi, investor yang mau masuk dan mulai melirik EBT ini belum sebanyak industri konvensional, maka entitas yang sudah lolos jaring ini hendaknya disupport dan diberikan manfaat yang berkesinambungan.
Pada akhirnya, ketika setiap ekosistem selaras, dan ketersediaan sumber daya melimpah, maka biaya manufaktur instrumen dapat ditekan sehingga setiap orang dapat merasakan energi baru, bersih, hijau dan tentu saja berkeadilan.
Referensi:
- Keputusan Menteri ESDM No. 301.K/MB.01/MEM.B/2022 19 Desember 2022.
Discussion (0)
Are you sure you want to delete this comment?
Replies to this comment, will also deleted. This action cannot be undone.
ID
:
Contain Replies
:
Comment Content
: